Selasa, 18 Maret 2008

Perpustakaan "Online" : Upaya Menghilangkan Sekat Egoisme

Oleh Erwin Edhi Prasetya

Sebuah idealisme baru menyeruak di dunia pendidikan tinggi Yogyakarta. Enam perguruan tinggi sepakat bekerja sama mengembangkan sistem interkoneksi perpustakaan digital online. Sedikit demi sedikit, mereka mulai membuka sekat-sekat di antara mereka.

Dan, sivitas akademika sebentar lagi bisa lega mengatakan "Buku ini aku pinjam.. (untuk dibawa pulang)" di sebuah perpustakaan perguruan tinggi lain.

Hal itu, dulu hingga kini merupakan hal yang hampir tidak mungkin dilakukan, bahkan juga mustahil. Seorang mahasiswa tidak mungkin diizinkan meminjam pulang sebuah buku koleksi milik perguruan tinggi (PT) yang bukan almamaternya. Paling-paling hanya bisa meminjam untuk dibaca di tempat. Itu pun harus seizin pengurus perpustakaan yang bersangkutan dan wajib membayar biaya administrasi.

Nina Nurwijayanti, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, misalnya, menceritakan pernah satu kali berkunjung ke perpustakaan sebuah perguruan tinggi negeri untuk mencari bahan-bahan untuk tugas kuliah. Namun, karena proses yang berbelit, ia pun kapok.

"Soalnya harus pakai surat pengantar untuk izin masuk dan harus membayar biaya administrasi, waktu itu besarnya Rp 10.000 sekali masuk. Itu pun hanya diizinkan membaca di tempat, buku tidak boleh dibawa pulang. Paling-paling hanya diperbolehkan fotokopi sebagian," tuturnya.

Sejak itu, ia ogah berkunjung ke perpustakaan universitas lain. Meskipun buku-buku yang diinginkannya kadang-kadang tidak tersedia di perpustakaan kampusnya. "Ya, terpaksanya harus nyari-nyari di luar, atau beli buku baru. Padahal, uang saku mahasiswa kan terbatas," tuturnya.

Aturan baca di tempat memang diterapkan di hampir semua PT terhadap sivitas akademika PT lain. Di Perpustakaan Pusat UGM, misalnya, seorang mahasiswa dari luar UGM harus mendapatkan izin masuk perpustakaan ataupun izin studi pustaka, untuk bisa membaca koleksi UPT Perpustakaan UGM. Meskipun proses mendapatkan izin itu sederhana, yakni menunjukkan kartu mahasiswa dan membayar Rp 2.000 untuk izin masuk dan Rp 5.000 untuk izin studi pustaka.

Sulitnya akses lintas perguruan tinggi, menurut Kepala UPT Perpustakaan UGM Ida Fajar Priyanto, karena paradigma kepemilikan dan "ke-aku-an" begitu kuat dipegang teguh hampir di setiap institusi pendidikan tinggi terhadap koleksi miliknya, termasuk koleksi perpustakaan.

"Sebenarnya sudah menjadi ide lama para pustakawan untuk bisa saling pinjam koleksi antarperpustakaan. Hal seperti itu akan lebih menguntungkan mahasiswa dan dosen, yang pada akhirnya secara lebih luas bisa meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di DIY," kata Ida.

Impian tersebut kini coba diwujudkan. Kamis kemarin, enam PT menandatangani naskah perjanjian kerja sama Pembentukan dan Pengembangan Inherent Jogja Library di DIY. Keenam PT tersebut, yakni UGM, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), USD, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, dan Institut Sains dan Teknologi "Akprind".

Melalui jaringan informasi pendidikan tinggi Inherent (Indonesian Higher Education Network) yang ada di setiap PT tersebut, mereka mengembangkan sistem interkoneksi perpustakaan digital online. Inherent merupakan program pengembangan sistem dan jaringan informasi pendidikan tinggi berbasis teknologi informasi dan komunikasi (hibah dari Dikti). Koneksi jaringan antar-PT kini masih terus dikerjakan.

Wakil Kepala Perpustakaan USD A Marsudi, mengilustrasikan kerja sama itu, seorang mahasiswa USD yang ingin meminjam buku koleksi UNY nantinya cukup melakukan transaksi peminjaman secara online. Berikutnya, petugas perpustakaan UNY akan mengirimkan buku yang dipesan ke USD. "Ini tentu menguntungkan mahasiswa karena bila kita tidak memiliki buku, bisa pinjam di PT lain," ucapnya.

Bagi mahasiswa, mereka bisa memperoleh informasi dan sumber pengetahuan yang lebih luas. Akhirnya, mahasiswa dan dosen akan bisa dengan lega berucap, "Buku ini aku pinjam (untuk dibawa pulang)...."

SUmber: Kompas, Januari 2007

2 komentar:

  1. maka dari pada itulah,mba nadia punya tanggung jawab moral untuk mengubah ideologi kolot itu menjadi modern ideologi menjadi perpustakaan idaman...bagaimana caranya...itu terserah mba nadia selamat berjuang!!!

    BalasHapus
  2. betul..betul...

    terimakasih atas masukannya...

    BalasHapus